ANTARA CINTA DAN NAFSU
Banyak muda-mudi jaman
sekarang yang asyik masyuk terseret dalam pergaulan bebas. Pacaran seolah
menjadi budaya. Pacaran menjadi nuansa bagi mereka untuk menuangkan rasa cinta
pada sang kekasih. Rasa rindu ingin bertemu selalu menghantui mereka, para
remaja yang sedang dimabuk cinta. Malangnya, ajang bercengkerama dua anak
manusia berlainan jenis (bukan muhrim) ini lebih digemari dari pada membaca
buku-buku motivasi atau kegiatan positif lainnya. Lebih malang lagi, tontonan sinetron-sinetron di
televisi lebih memperparah lagi keadaan ini.
Tak dapat dipungkiri lagi, di masa sekarang, ada keprihatinan mendalam di
balik fenomena itu. Dengan “mengatasnamakan cinta”, muda-mudi itu banyak yang
lupa akan batasan-batasan yang digariskan agama. Melalui ajang yang disebut
pacaran itu, terjadilah sebuah interaksi intensif dari perasaan saling suka,
sering bertemu, dan seterusnya yang berujung pada terjadinya berbagai kontak
fisik dalam kesempatan yang sepi berdua. Tak jarang mereka sampai terjerumus ke
jurang perzinaan, karena tak bisa mengendalikan diri. Akhirnya, hubungan yang
awalnya istimewa bagi mereka, menjadi penyebab terjadinya dosa besar dan
hancurnya masa depan bagi pelakunya. Sekali lagi, sebelumnya mereka
melakukannya dengan “mengatas namakan cinta”.
Begitu naifkah, kata cinta yang harusnya dijaga kesuciannya, menjadi
ternoda. Lalu, benarkah itu cinta? Ataukah hanya nafsu yang terkamuflase? Jadi,
ketika sepasang muda-mudi sedang asyik berduaan, sebenarnya cinta ataukah nafsu
mereka yang “berbicara”? Apakah emosi ataukah akal sehat mereka yang lebih
dominan?
Jika ada seorang gadis yang berkata pada kekasihnya, “Kuserahkan segala
milikku untukmu sebagi bukti cintaku padamu…” Dia menganggap itu sebagai sebuah
pengorbanan karena cinta. Tapi begitukah pengorbanan untuk cinta? Ataukah itu
untuk nafsu?
Begitu mudahkah mengatas namakan “cinta” untuk suatu perbuatan dosa.
Apakah itu benar cinta, atau itukah yang dinamakan nafsu? Yah, sebagai makhluk
jenius yang dikaruniai akal budi yang sempurna, kita sebagai manusia pasti tahu
perbedan keduanya, antara nafsu dan cinta. Dan sebagai generasi muda yang
terpelajar, sudah sepantasnyalah kita tidak mencampuradukkan kedua hal itu
untuk melegalkan hasrat (baca: hawa nafsu) kita.
Sekarang adalah era informasi yang serba canggih, bukan era manusia gua
ratusan abad yang lalu. Manusia semakin cerdas dan punya peradaban tinggi.
Jadi, harus tahu apa itu arti cinta yang sesungguhnya, dan jangan menodai makna
cinta dengan pelampiasan hasrat nafsu birahi dengan mengatasnamakan cinta.
Begitu parahnya pergaulan bebas muda-mudi di jaman ini, yang melegalkan
perbuatan maksiat sebagai sebuah kebiasaan yang wajar. Hal itu bukan tanpa
bukti. Ada
wanita yang berkisah langsung dan katanya ingin bertaubat. Ada juga laki-laki yang berkisah dengan
perasaan bangga tanpa ada niat memperbaiki diri sedikitpun. Ada juga cerita dari teman yang sering
dijadikan curhat teman-temannya. Pendek kata, kita harus mengurut dada
mengetahui realitas kelabu ini. Mereka ada di tengah-tengah kita. Itu terjadi
di tengah-tengah kita.
Belum lagi banyaknya kasus-kasus pergaulan intim muda-mudi di luar nikah
yang menghebohkan, direkam layaknya film dokumenter, namun akhirnya aib itu
tersebar. Dan bagi si pelaku, pasti malu yang tak terkira harus mereka
tanggung. Juga bagi keluarganya, itu semua menjadi aib yang memalukan,
menghancurkan martabat keluarga, dan meluluhlantakkan segala kebanggaan.
Ironisnya, pelakunya kebanyakan adalah sepasang kekasih yang masih pelajar atau
mahasiswa. Lebih ironis lagi, mereka melakukannya atas nama cinta.
Pertanyaannya: apakah semua itu hanya dibiarkan saja? Atau hanya jadi
bahan pemberitaan belaka?
Nama cinta bukanlah untuk sesuatu yang nista. Cinta adalah anugerah Yang Kuasa yang
harus kita jaga kesuciannya. Jika kita mencintai kekasih kita, maka dengan
cinta itulah kita menjaganya, bukan menodainya. Cinta selalunya suci dan mulia
bila ia dimiliki oleh seorang “pecinta sejati”. Banyak kisah cinta yang menjadi
legenda. Tajmahal yang indah di negeri India tercipta karena cinta. Rabiah
Al Adawiyah menjadi legenda sufi wanita karena cintanya pada Sang Pencipta.
Pasangan legenda Rama–Shinta, Romeo–Juliet, Kais–Laila, menjadi kisah
sepanjang masa karena cinta mereka. Tidak ada kisah melegenda tentang nafsu
yang tak terkendali dalam hubungan dua insan lain jenis tanpa ikatan
pernikahan. Adanya hanyalah skandal, perselingkuhan, perzinaan, dan nama lain
sejenis yang amoral.
Jadi, jangan katakan ‘cinta’ jika kita tidak bisa memaknainya dengan makna
yang sebenarnya. Jangan samakan cinta dengan nafsu hanya karena kita kurang
kendali diri. Jangan mengkambinghitamkan cinta sebagai sarana pelampiasan
nafsu. Dan yang lebih penting lagi, pergaulan bebas tak akan terjadi bila
muda-mudi kita bisa memaknai cinta dengan sebenarnya dan memegang teguh ajaran
agama dengan istiqomah (konsisten) sampai tiba masanya gerbang pernikahan
terbuka.
Bagaimana menurut pendapat Anda?
Komentar
Posting Komentar